Minggu, 22 Januari 2012

Menaati Suami atau Orangtua…?. Istri memaksa Suami Tinggal Dekat Keluarganya…?

0 komentar
Seorang wanita yang telah menikah dihadapkan pada dua perintah yang berbeda. Kedua orang tuanya memerintahkan suatu perkara mubah, sementara suaminya memerintahkan yang selainnya. Lantas yang mana yang harus ditaatinya, kedua orang tua atau suaminya? Mohon disertakan dalilnya!
Jawab: Asy-Syaikh Al-’Allamah Al-Muhaddits Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menjawab:
“Ia turuti perintah suaminya. Dalilnya adalah seorang wanita ketika masih di bawah perwalian kedua orang tuanya (belum menikah) maka ia wajib menaati keduanya. Namun tatkala ia menikah, yang berarti perwaliannya berpindah dari kedua orang tuanya kepada sang suami, berpindah pula hak tersebut –yaitu hak ketaatan– dari orang tua kepada suami. Perkaranya mau tidak mau harus seperti ini, agar kehidupan sepasang suami istri menjadi baik dan lurus/seimbang. Jika tidak demikian, misalnya ditetapkan yang sebaliknya, si istri harus mendahulukan kedua orang tuanya, niscaya akan terjadi kerusakan yang tidak diinginkan. Dalam hal ini ada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits: “Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, ia menaati suaminya dan menjaga kemaluannya, niscaya ia akan masuk ke dalam surga Rabbnya dari pintu mana saja yang ia inginkan.” Wallahu a’lam bish shawwab (Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 448)
http://www.salafy.or.id/2007/02/05/menaati-suami-atau-orangtua/
Istri memaksa Suami Tinggal Dekat Keluarganya
Pertanyaan
Bagaimana hukumnya seorang wanita yang memaksa suaminya tinggal di dekat keluarganya dengan alasan ingin berbakti dengan keduanya? Namun suami tidak setuju dengan alasan tempat tersebut jauh dari ilmu syar’i. Tempat tinggal suami sudah dekat dengan majelis ilmu. Sampai-sampai si istri memboikot suami. Saya minta penjelasannya. Sebelumnya saya ucapkan Jazakumullahu khairan.
Di jawab oleh al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Hak suami lebih besar atas istri daripada hak orang tuanya, dan istri wajib taat kepada suami dalam hal yang ma’ruf (baik). Jika harus memilih  salah satunya maka dia harus memilih suami. Istri tidak bisa memaksa suami berbuat sesuatu. Dalam kasus di atas, istri harus bersama suami dan dia bisa melakukan birrul walidain walaupun tidak dekat rumah. Waffaqakumullah. (Majalah Asy Syariah, Vol.VII/No.75/1423H/2011, Rubrik Tanya Jawab Ringkas)

Kamis, 19 Januari 2012

PRINSIP-PRINSIP DAKWAH AHLUS SUNNAH WAL JAMÂ’AH / DAKWAH AS-SALAFIYYAH (I)

0 komentar
Oleh : Fadhîlatusy Syaikh Al-‘Allâmah Shâlih bin Fauzân Al-Fauzân
-hafizhahullah-
Alhamdulillâh, segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Yang telah memerintahkan kita untuk mengikuti Rasul-Nya dan berdakwah di jalan-Nya. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para shahabat beliau, serta orang-orang mengikuti mereka dengan ihsân (baik) hingga Hari Pembalasan.
Sesungguh dakwah kepada (agama) Allah merupakan jalan Rasulullah  dan para pengikut beliau, sebagaimana firman Allah :
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah (wahai Muhammad) inilah jalanku, (yaitu) saya berdakwah ke jalan Allah di atas Bashîrah, (ini adalah jalan)ku dan orang-orang yang mengikutiku. Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk kaum musyrikin.” [Yûsuf : 108]
Bahkan dakwah merupakan misi utama para rasul dan para pengikut mereka semuanya. Dalam rangka mengeluarkan manusia dari berbagai kegelapan kepada cahaya, dari kekufuran kepada iman, dari syirik kepada tauhid, dan dari neraka kepada al-jannah.
Dakwah tersebut harus ditegakkan di atas pokok-pokok dan dibangun di atas prinsip-prinsip yang tidak bisa lepas darinya. Apabila hilang salah satu dari prinsip-prinsip tersebut maka dakwah menjadi tidak shahîh, dan tidak akan membuahkan hasil yang diharapkan, meskipun berbagai upaya telah dikerahkan dan segenap waktu telah dikorbankan. Sebagaimana hal ini dapat disaksikan dan telah dialami oleh banyak dakwah-dakwah masa ini, yang tidak ditegakkan di atas pokok-pokok tersebut dan tidak dibangun di atas prinsip-prinsip tersebut.
Pokok-pokok dan prinsip-prinsip yang harus ditegakkan di atasnya dakwah yang benar, adalah sebagaimana ditunjukkan Al-Qur`ân dan As-Sunnah, yaitu secara ringkas sebagai berikut :
1. Ilmu, (yaitu) ilmu tentang apa yang akan didakwahkan. Maka seorang yang jahil (bodoh) tidak layak untuk menjadi da’i.
Allah  berfirman kepada Nabi-Nya :
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah (wahai Muhammad) inilah jalanku, (yaitu) saya berdakwah ke jalan Allah di atas Bashîrah, (ini adalah jalan)ku dan orang-orang yang mengikutiku. Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk kaum musyrikin.” [Yûsuf : 108]
Al-Bashîrah yang dimaksud pada ayat tersebut adalah ilmu. Karena seorang da’i pasti akan berhadapan dengan para ‘ulama sesat, dihadapkan padanya berbagai syubhat, dan akan didebat dengan kebatilan untuk menghancurkan al-haq. Allah  berfirman :
“Berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik.” [An-Nahl : 108]
Rasulullah  bersabda kepada Mu’âdz : “Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahlul kitab.” Apabila seorang da’i tidak bersenjatakan ilmu, yang dengannya dia bisa menghadapi berbagai syubhat dan mematahkan hujjah-hujjah lawan, maka dia akan kalah sejak pertama kali bertemu musuh dan akan berhenti di permulaan jalan.
2. Amal, (yaitu) mengamalkan apa yang ia dakwahkan. Sehingga ia menjadi qudwah hasanah (teladan yang baik), perbuatannya selaras dengan ucapannya, dan tidak ada celah bagi ahlul batil atasnya (untuk menjatuhkannya).
Allah  berfirman kepada Nabi-Nya Syu’aib , bahwa beliau berkata kepada kaumnya :
وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَىٰ مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ ۚ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ ۚ
“Dan aku tidak bermaksud menyalahi kalian (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) kebaikan semampuku.” [Hûd : 88]
Allah  juga berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad  :
“Katakanlah (wahai Muhammad) bahwa sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku untuk Allah Rabbul ‘Alamin. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dengan itu aku diperintah dan aku termasuk muslim yang pertama.”
Allah juga berfirman :
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا
“Siapakah yang lebih baik ucapannya dibandingkan orang yang berdakwah ke jalan Allah dan beramal shalih?” [Fush-shilat : 33]
3. Al-Ikhlâsh, yaitu dakwah dilakukan karena mengharap wajah Allah . Tidak dimaksudkan karena riya`, tidak karena sum’ah, tidak karena mencari kedudukan yang tinggi, tidak karena kepemimpinan, tidak pula karena ambisi-ambisi duniawi. Apabila dakwah terkotori oleh perkara-perkara tersebut, maka tidak lagi menjadi dakwah ilallâh (ke jalan Allah), namun menjadi dakwah kepada dirinya sendiri atau untuk memenuhi maksud dan tujuannya. Sebagaimana Allah  memberitakan tentang para nabi-Nya, bahwa mereka berkata kepada kaumnya :
يَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا
“Wahai kaumku, aku tidak meminta kepada kalian atas dakwahku ini upah/bayaran.” [Hûd : 51]
وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا
“Wahai kaumku, aku tidak meminta kepada kalian atas dakwahku ini harta.” [Hûd : 29]
4. Memulai dari permasalahan terpenting kemudian yang penting. Yaitu dakwah pertama kali adalah untuk memperbaiki aqidah, dengan memerintahkan untuk ikhlash (memurnikan) ibadah hanya kepada Allah dan melarang dari kesyirikan. Kemudian setelah itu memerintahkan untuk menegakkan shalat, membayar zakat, dan mengerjakan kewajiban-kewajiban serta menjauhi larangan-larangan. Sebagaimana yang demikian itu merupakan tharîqah (metode) para rasul semuanya. Hal ini sebagaimana firman Allah :
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Sesungguhnya telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul (tugas utamanya adalah menyeru) bahwa ‘beribadahlah kalian hanya kepada Allah dan jauhilah oleh kalian thâghût’.” [An-Nahl : 36]
Allah  juga berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Tidaklah Kami mengutus sebelummu seorang rasul kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecual Aku, maka beribadahlah kalian semua hanya kepada-Ku.” [Al-Anbiyâ` : 25]
Ketika Rasulullah  mengutus Mu’âdz bin Jabal ke negeri Yaman, beliau berpesan kepadanya : “Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahlul kitab. Maka jadikanlah pertama kali yang engkau dakwahkan adalah syahâdah lâilâha illallâh. Apabila mereka telah melaksanakannya, maka ajarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat 5 waktu dalam sehari semalam. … ”
Dalam tharîqah dan sejarah dakwah Rasulullah  terdapat contoh / teladan terbaik dan manhaj yang sempurna. Yaitu ketika beliau  tinggal di Makkah selama 13 tahun, menyeru umat manusia kepada tauhid dan mencegah mereka dari syirik, sebelum memerintahkan mereka untuk shalat, zakat, shaum, haji; dan sebelum melarang mereka dari riba, zina, mencuri, dan membunuh jiwa tanpa haq.
5. Sabar atas segala resiko yang didapat di jalan dakwah kepada (agama) Allah. Baik berupa kesulitan maupun gangguan manusia. Karena jalan dakwah bukan jalan yang terbentang penuh bunga, namun jalan tersebut diliputi dengan kesulitan dan penuh resiko. Sebaik-baik teladan dalam hal ini adalah para rasul shalawâtullâh wa salâmuhu ‘alahi, ketika mereka harus menghadapi berbagai gangguan dan ejekan kaumnya.
وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِّن قَبْلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِينَ سَخِرُوا مِنْهُم مَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
“Dan sungguh telah diejek beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka itu balasan (azdab) atas ejekan yang mereka lakukan.” [Al-An’âm : 10]
Allah juga berfirman :
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِّن قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَىٰ مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّىٰ أَتَاهُمْ نَصْرُنَا ۚ
“Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka.” [Al-An’âm : 34]
Demikian juga para pengikut rasul mereka juga akan mendapatkan gangguan dan rintangan sesuai dengan tingkat turut andilnya dalam dakwah ilallâh, dalam rangka mencontoh para rasul yang mulia tersebut –‘alaihim minallâh afdhalushalawât wa azkas salâm –
Filed in: Aqidah

Jumat, 06 Januari 2012

الدين الناصحۃ | Agama itu Nasihat: Khusus untuk Salafiyin | Hadirilah Dauroh Akbar bersama Al-Ustadz Luqman Ba'abduh | Mewaspadai Tersebarnya Bahaya Teroris Khawarij Melalui Yayasan Ihya At-Turats | Tangerang | 29 Muharram 1433H - 25 Desember 2011

0 komentar
الدين الناصحۃ | Agama itu Nasihat: Khusus untuk Salafiyin | Hadirilah Dauroh Akbar bersama Al-Ustadz Luqman Ba'abduh | Mewaspadai Tersebarnya Bahaya Teroris Khawarij Melalui Yayasan Ihya At-Turats | Tangerang | 29 Muharram 1433H - 25 Desember 2011

Kamis, 05 Januari 2012

Bergaul dengan Akhlak yang Baik

0 komentar

Mungkin engkau pernah mendengar atau membaca hadits Abu Dzar Al-Ghifari z yang menyebutkan sabda sang Rasul n:
اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Susullah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskan kejelekan tersebut, dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad 5/135, 158, 177, At-Tirmidzi no. 1987, dan selain keduanya. Dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahihul Jami’ no. 97 dan di kitab lainnya)
Hadits ini, kata Asy-Syaikh Al-Allamah Abdurrahman ibnu Nashir As Sa’di t, merupakan hadits yang agung. Di dalamnya, Rasul yang mulia n mengumpulkan hak Allah l dan hak hamba-hamba-Nya. Hak Allah l terhadap hamba-Nya adalah agar mereka bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benartakwa. Mereka berhati-hati dan menjaga diri agar tidak mendapatkan kemurkaan dan azab-Nya, dengan menjauhi perkara-perkara yang dilarang dan menunaikan kewajiban-kewajiban. Wasiat takwa ini merupakan wasiat Allah l kepada orang-orang terdahulu maupun belakangan. Sebagaimana takwa merupakan wasiat setiap rasul kepada kaumnya, di mana sang rasul menyerukan:
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan bertakwalah kepada-Nya.” (Nuh: 3)
Tentang perangai orang yang bertakwa ini, Allah l sebutkan antara lain dalam firman-Nya berikut ini:
“Bukanlah menghadapkan wajah kalian ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil, dan orang-orang yang meminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabardalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang orang yang benar imannya dan mereka itulah orang orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 177)
“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanyà, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali ‘Imran: 133-134)
Allah l menyebutkan sifat orang-orang yang bertakwa sebagai orang yang beriman dengan pokok-pokok keimanan (rukun iman), keyakinan-keyakinan, dan amal-amalnya, baik secara zhahir maupun batin, dengan menunaikan ibadah-ibadah badaniyah (yang dilakukan tubuh) dan maliyah (ibadah dengan harta). Orang yang beriman adalah orang yang sabar dalam kesulitan dan kesempitan, memaafkan manusia, menanggung gangguan dari mereka dengan tabah dan justru berbuat baik kepada mereka. Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang bersegera meminta ampun dan taubat manakala mereka terjatuh dalam perbuatan keji atau menzalimi diri mereka sendiri.
Dalam hadits Abu Dzar z di atas, Rasulullah n mewasiatkan agar seorang hamba terus-menerus bertakwa di mana saja dia berada, di setiap waktu dan setiap tempat, serta dalam segala keadaannya. Kenapa demikian? Karena si hamba sangat butuh kepada takwa, tak pernah bisa lepas darinya. Bila sampai lepas, ia akan binasa.
Namun yang namanya manusia mesti ada kekurangannya dalam menjalankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban takwa. Maka Rasulullah n memerintahkan untuk melakukan perkara yang dapat membersihkan cacat tersebut dan menghilangkannya. Yaitu, bila sampai si hamba jatuh dalam kejelekan maka ia bersegera menyusulnya dengan hasanah (kebaikan).
Hasanah sendiri adalah nama dari segala perbuatan yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah l. Hasanah yang paling agung yang dapat menolak kejelekan adalah taubat nashuha, istighfar, dan inabah (kembali) kepada Allah l dengan mengingat dan mencintai-Nya, takut dan berharap kepada-Nya, serta berambisi untuk meraih keutamaan-Nya pada setiap waktu.
Termasuk hasanah yang dapat menolak kejelekan adalah memaafkan manusia, berbuat baik kepada makhluk Allah l, menolong orang yang sedang ditimpa musibah, memberikan kemudahan bagi orang yang kesulitan, menghilangkan kemadharatan dan kesempitan dari hamba-hamba Allah l. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahan.” (Hud: 114)
Rasulullah n bersabda:
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“Shalat yang lima, Jum’at ke Jum’at, dan Ramadhan ke Ramadhan, merupakan penghapus kesalahan yang dilakukan di antaranya, selama dijauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 233)
Banyak lagi dalil lain yang menunjukkan diperolehnya ampunan berkat amalan ketaatan.
Musibah yang menimpa seorang hamba juga merupakan penghapus kesalahan. Karena tidaklah seorang mukmin ditimpa kesedihan, gundah gulana, sakit bahkan sekadar tertusuk duri melainkan Allah l akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya. Sebagaimana dikabarkan dalam hadits Abu Hurairah z yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 5641) dan Muslim (no. 2753).
Musibah itu bisa berupa hilangnya sesuatu yang dicintai, atau terkena sesuatu yang dibenci pada tubuh, hati ataupun harta, baik yang sifatnya di dalam ataupun di luar. Musibah ini bukan sengaja dilakukan hamba terhadap dirinya. Karena itulah Rasulullah n memerintahkan seorang yang tertimpa musibah untuk melakukan amalan yang merupakan perbuatannya, dilakukan dengan kesadarannya, yaitu menyusul kejelekan yang terlanjur dilakukan atau kejelekan yang menimpa dirinya dengan kebaikan.
Pada akhirnya Rasulullah n berpesan, “Bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.”
Akhlak baik terhadap manusia yang pertama adalah menahan diri dari mengganggu mereka dari segala sisi. Memaafkan keburukan mereka dan gangguan mereka terhadapmu, kemudian engkau bermuamalah dengan mereka dengan muamalah yang baik dalam ucapan maupun perbuatan. Termasuk akhlak baik yang paling khusus adalah sabar menghadapi mereka, tidak jenuh dengan mereka, berwajah cerah, berkata lembut, berucap indah yang menyenangkan teman duduk, memberikan kegembiraan pada teman, menghilangkan rasa tidak enak di hati mereka, dan terkadang memberikan gurauan jika memang ada maslahat. Akan tetapi tidak sepantasnya banyak bergurau atau guyonan. Karena bercanda dalam ucapan seperti garam pada makanan. Kalau tidak ada garam, makanan terasa hambar, namun bila terlalu banyak makanan menjadi asin. Dengan demikian, bila bercanda ini tidak ada atau sebaliknya melebihi batasan, maka menjadi tercela.
Termasuk akhlak yang baik adalah bergaul kepada manusia dengan apa yang pantas bagi mereka dan sesuai dengan keadaannya, dengan memandang apakah orang yang diajak bergaul itu masih kecil atau sudah besar, berakal atau terbelakang, seorang alim ataukah orang yang jahil/bodoh.
Sungguh, siapa yang bertakwa kepada Allah l, merealisasikan takwanya dan bergaul baik kepada manusia dengan perbedaan tingkatan mereka berarti ia telah mencapai kebaikan secara keseluruhan, karena ia telah menegakkan hak Allah l dan hak para hamba. Juga karena ia termasuk orang yang berbuat ihsan dalam beribadah kepada Allah l dan berbuat ihsan terhadap hamba-hamba Allah l.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Dinukil Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Bahjatu Qulubil Abrar wa Qurratu ‘Uyunil Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar, karya Al-’Allamah Abdurrahman ibnu Sa’di t, hal. 48-50)

Berbagi Kepada Ibu

0 komentar

Dalam sebuah hadits, Rasulullah n bersabda, menceritakan beberapa peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu. Salah satunya tentang seorang ahli ibadah bernama Juraij.
كَانَ رَجُلٌ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ يُقَالُ لَهُ جُرَيْجٌ يُصَلِّي فَجَاءَتْهُ أُمُّهُ فَدَعَتْهُ فَأَبَى أَنْ يُجِيبَهَا فَقَالَ: أُجِيبُهَا أَوْ أُصَلِّي؟ ثُمَّ أَتَتْهُ فَقَالَتْ: اللَّهُمَّ لاَ تُمِتْهُ حَتَّى تُرِيَهُ وُجُوهَ الْمُومِسَاتِ. وَكَانَ جُرَيْجٌ فِي صَوْمَعَتِهِ فَقَالَتِ امْرَأَةٌ: لَأَفْتِنَنَّ جُرَيْجًا. فَتَعَرَّضَتْ لَهُ فَكَلَّمَتْهُ فَأَبَى، فَأَتَتْ رَاعِيًا فَأَمْكَنَتْهُ مِنْ نَفْسِهَا فَوَلَدَتْ غُلاَمًا فَقَالَتْ: هُوَ مِنْ جُرَيْجٍ. فَأَتَوْهُ وَكَسَرُوا صَوْمَعَتَهُ فَأَنْزَلُوهُ وَسَبُّوهُ، فَتَوَضَّأَ وَصَلَّى ثُمَّ أَتَى الْغُلاَمَ فَقَالَ: مَنْ أَبُوكَ يَا غُلاَمُ؟ قَالَ: الرَّاعِي. قَالُوا: نَبْنِي صَوْمَعَتَكَ مِنْ ذَهَبٍ. قَالَ: لاَ، إِلاَّ مِنْ طِينٍ
Dahulu kala, di kalangan Bani Israil ada seorang yang dikenal bernama Juraij. Pada suatu hari, ketika dia sedang shalat, datanglah ibunya memanggil.
Juraij enggan memenuhi panggilannya. Katanya (dalam hati), “Saya menjawab panggilannya, ataukah saya tetap shalat?”
Kemudian ibunya datang lagi (memanggil, tapi Juraij tidak menyahut). Sang ibu pun berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau mematikan dia sampai Engkau memperlihatkan kepadanya wajah para wanita pelacur.”
Suatu ketika, Juraij sedang berada di tempat ibadahnya. Ada seorang wanita berkata, “Sungguh, saya pasti akan membuat Juraij terfitnah (tergoda untuk menzinainya, red.).” Dia pun menawarkan diri kepadanya dan mengajaknya bicara. Namun Juraij menolak.
Akhirnya wanita itu mendatangi seorang penggembala kambing dan menyerahkan diri kepadanya (berzina, red.).
(Beberapa waktu kemudian), wanita itu melahirkan seorang anak. Dia berkata, “(Anak) ini dari Juraij.”
Penduduk kampung itu pun mendatangi Juraij, menghancurkan tempat ibadahnya dan menyeretnya serta mencacinya.
Juraij pun berwudhu dan shalat. Kemudian dia mendatangi bayi itu dan bertanya, “Siapakah ayahmu, wahai anak?”
Bayi itu menjawab, “Si penggembala.”
Akhirnya penduduk kampung itu pun berkata, “Kami bangun kembali biaramu dari emas?”
Kata Juraij, “Tidak. Tapi (bangunlah kembali) dari tanah.”1
Kisah ini terjadi berabad-abad yang lalu, di zaman Bani Israil, sebelum Rasulullah n dilahirkan.
Mulanya, Juraij hanyalah seorang pedagang. Kadang berhasil, dia memperoleh laba. Tapi tidak jarang pula dia mengalami kerugian. Melihat kenyataan ini, Juraij merenung dan berkata dalam hatinya, “Sungguh, tidak ada kebaikan dalam perniagaan seperti ini. Aku ingin mencari perniagaan yang lebih baik daripada ini.”
Mulailah dia membangun sebuah tempat ibadah tempat ia beribadah di dalamnya. Akhirnya, dia pun tenggelam dalam kekhusyukan beribadah kepada Allah l.
Ujian pun Datang
Sunnatullah pasti berlaku pada setiap hamba Allah l. Mereka yang mengaku dirinya beriman, menyatakan cinta kepada Allah l, pasti akan menerima ujian sesuai tingkat iman yang ada dalam dadanya. Terlebih jika Allah l mencintai hamba tersebut.
Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ
“Sesungguhnya, apabila Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menimpakan petaka (ujian) pada mereka. Oleh karena itu, siapa yang menerimanya dengan ridha niscaya dia akan memperoleh keridhaan (dari Allah l), sedangkan mereka yang merasa marah (tidak rela menerimanya), tentu dia memperoleh murka (dari Allah l).”2
Beliau n pernah ditanya, “Siapakah orang yang paling berat ujiannya?” Sabda beliau n:
الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Para nabi, kemudian yang (mulia) seperti mereka, dan yang seperti mereka. Seseorang itu akan diuji sesuai dengan tingkat keimanannya. Kalau dia teguh dan kokoh dalam beragama, niscaya berat pula ujiannya. Kalau dia rapuh dalam beragama, tentu ringan pula ujian yang diterimanya. Senantiasa seseorang mendapat ujian, hingga dia dibiarkan berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak mempunyai kesalahan.”
Suatu ketika, saat Juraij sedang shalat, ibunya datang memanggil, “Wahai Juraij. Wahai anakku, temuilah. Aku adalah ibumu, bicaralah denganku!”
Juraij yang sedang shalat ragu-ragu, apakah dia harus membatalkan shalatnya lalu menemui ibunya, ataukah dia tetap meneruskan shalatnya?
“Ya Allah, shalatku ataukah ibuku?”
Sang ibu pun pergi. Tak lama, beliau datang lagi memanggil, “Wahai Juraij. Wahai anakku, temuilah. Aku adalah ibumu, bicaralah denganku!”
Ternyata, tidak ada jawaban dari Juraij. Sang ibu merasa masygul. Ada apa dengan putranya, beberapa kali panggilannya tidak disahut oleh sang anak?
Akhirnya, tak sabar menahan kejengkelannya, sang ibu memanjatkan doa, “Ya Allah, janganlah Engkau mematikan Juraij sampai Engkau memperlihatkan kepadanya wajah wanita pelacur.”
Sebuah “kesalahan” yang kelihatannya cukup ringan. Hanya karena dia tidak menyahut panggilan sang ibu yang telah melahirkan dan mengasuhnya sejak dia kecil. Bahkan perbuatan itu bukan pula didasari karena dia durhaka kepada ibunya.
Tidak. Juraij bukan anak durhaka. Dia justru sedang berada di antara dua sikap ta’zhim (pengagungan): antara mengagungkan hak Allah l yang dia sedang berdiri shalat di hadapan-Nya ataukah hak sang ibu yang telah melahirkan dan mengasuhnya?
Juraij berkata, “Ya Allah, shalatku ataukah ibuku?”
Akhirnya, Juraij tetap meneruskan shalatnya.
Dalam shalatnya, Juraij masih sempat mendengar doa yang dipanjatkan sang ibu. Sebuah doa yang mustajab, bertepatan dengan waktu Allah l mengabulkan doa. Dari seorang ibu yang salehah, yang dikecewakan oleh putra yang telah dilahirkan dan dibesarkannya.
Duhai, kiranya manusia mengetahui hak Allah l dan menunaikannya secara sempurna, tentulah mereka pun tahu betapa mulia kedudukan orang tua dalam diri mereka, sesudah Allah l dan Rasul-Nya.
Dalam banyak ayat-Nya, Allah l selalu mengurutkan (mendudukkan) berbagai kebaikan dan ketaatan kepada orang tua sesudah perintah taat kepada Allah l dan Rasul-Nya.
Allah l berfirman:
“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (Al-Isra’: 23)
Selang beberapa waktu kemudian. Ketika nama Juraij dikenal sebagai seorang ahli ibadah, terdengarlah beritanya oleh seorang pelacur yang sangat cantik di daerah tersebut. Harga diri wanita itu seolah-olah tertantang. Dia merasa tinggi hati karena hampir setiap laki-laki di daerah tersebut, sama mengharapkan dirinya.
Sehebat apakah laki-laki bernama Juraij itu? Siapakah dia? Apakah dia seorang nabi? Ataukah malaikat? Tidak adakah yang dapat meruntuhkan imannya? Padahal setiap laki-laki di sekitarnya memuja dirinya?
Akhirnya dia bertekad untuk menjatuhkan pamor dan merusak ibadah Juraij.
Datanglah dia berkunjung hendak merayu Juraij agar mau berzina dengannya. Wanita itu benar-benar mengerahkan segenap upayanya untuk menggoda dan membujuk Juraij agar mau menyentuhnya. Juraij tetap menolak.
Berbagai cara telah dilakukan oleh wanita itu, tapi Juraij tetap tak bergeming. Karena syahwatnya sudah terlanjur memuncak sementara Juraij tidak menggubrisnya, wanita itu jengkel dan pergi.
Kebetulan, di sekitar tempat ibadah Juraij ada seorang penggembala yang biasa membawa kambingnya merumput di sana.
Sambil beristirahat, penggembala itu melepas kambing-kambingnya berlarian di padang rumput sepi itu.
Saat dia sedang memerhatikan kambingnya, datanglah wanita yang tadi merayu Juraij. Dengan keahliannya, dia berhasil merayu si penggembala dan terjadilah perbuatan keji itu.
Setelah itu, si wanita pun pergi meninggalkan penggembala dan kampung Juraij dengan satu rencana jahat yang sudah dipersiapkannya.
Dia harus menghancurkan nama baik Juraij.
Keadaan tetap sebagaimana semula. Juraij tetap sibuk dengan ibadahnya. Sang ibu tidak lagi datang ke tempat Juraij. Entah karena marah, sedih, atau yang lainnya.
Beberapa waktu kemudian, di kampung seberang, si wanita yang dahulu merayu Juraij hamil dan sudah saatnya melahirkan.
Tak berapa lama, sang bayi pun lahir.
Wanita itu, didorong keinginannya untuk menghancurkan nama baik Juraij, walaupun masih dalam masa nifas, tetap keluar membawa bayi itu ke tengah-tengah kumpulan orang banyak. Dengan terheran-heran, orang-orang kampung itu bertanya, kapan wanita ini menikah? Laki-laki mana yang mau menikahi wanita seperti ini? Siapa pula suaminya? Di mana mereka menikah?
Sejumlah pertanyaan muncul dalam benak mereka. Tapi agaknya, semua sudah diperhitungkan wanita tersebut. Semua pertanyaan yang mungkin mereka ajukan sudah ada jawabannya.
Dengan tenang, dia berkata kepada penduduk kampung itu, “Ini (hasil hubunganku) dengan Juraij.”
Bagai disengat kalajengking, mereka tersentak kaget. Juraij, ahli ibadah yang terkenal itu?
Jadi, selama ini dia berpura-pura alim, tetapi melakukan perbuatan tak senonoh dengan perempuan seperti ini?
Akhirnya, sumpah serapah dan caci-maki berhamburan dari mulut mereka.
Penipu, mura’i (orang yang berbuat riya’), ingin dipuji, dan umpatan lainnya mereka tujukan kepada Juraij.
Tak puas sampai di situ. Berduyun-duyun mereka datang menyerbu tempat ibadah Juraij.
Dari bawah tempat ibadah tersebut, mereka berteriak mencaci-maki Juraij dan menyuruhnya turun.
Juraij tak memedulikan mereka, dia tetap tenggelam dalam ibadahnya.
Warga semakin tak sabar. Beberapa orang di antara mereka memukulkan palu, pacul, dan benda-benda keras lainnya untuk meruntuhkan tempat ibadah itu.
Mau tak mau, Juraij pun keluar.
Dia tersenyum….
Warga merasa heran, mengapa dia tersenyum? Tentu saja hal itu membuat mereka semakin jengkel. Sambil memaki, mereka membelitkan tali di leher kedua orang yang mereka ‘yakini’ telah berzina ini. Juraij dan si pelacur.
Dalam ajaran mereka ketika itu, orang yang berbuat demikian harus dibunuh.
Tapi, mengapa Juraij tersenyum?
Ya, ada apa? Juraij ingat, dalam shalatnya sayup-sayup dia sempat mendengar doa yang dipanjatkan sang ibu yang kecewa.
Inilah kenyataan dari doa tersebut.
Akhirnya, Juraij minta izin untuk berwudhu lalu shalat.
Selesai shalat, Juraij mendekati wanita dan bayinya tersebut. Kemudian, dia menekan jarinya ke tubuh si bayi sambil bertanya, “Wahai bayi, siapakah ayahmu?”
Mahasuci Allah yang membuat bicara segala sesuatu yang Dia kehendaki untuk berbicara. Itulah sebagian kecil bukti kekuasaan Allah Yang Mahaperkasa.
Bukan hanya bayi manusia, bahkan benda-benda mati pun berbicara. Kulit, pendengaran, dan penglihatan manusia nanti juga akan berbicara menjadi saksi terhadap pemiliknya.
Kapankah itu terjadi? Jangan tanya, kapan itu terjadi.
Tapi, seharusnya kita bertanya, sudahkah kita mempersiapkan jawaban atas setiap pertanyaan yang akan diajukan kepada kita di padang mahsyar nanti? Sebelum pendengaran, penglihatan, dan kulit-kulit kita menjadi saksi terhadap diri kita? Sebelum mulut kita dikunci, tidak lagi mampu berkata-kata sepatah pun?
Itulah hari, ketika manusia berdiri di hadapan Allah Yang Mahaadil dan Bijaksana. Dzat yang menguasai Hari Pembalasan. Hari yang pasti terjadi.
Setiap orang sendiri-sendiri berbicara dengan Rabbnya, tanpa seorang penerjemah pun. Dia harus siap memberikan jawaban atas semua pertanyaan yang diajukan kepadanya, tentang waktunya, untuk apa dia habiskan? Tentang kekuatannya, apa yang dia lakukan dengan kekuatan tersebut? Tentang hartanya, dari mana dia memperoleh dan ke mana dia belanjakan? Serta tentang ilmunya, apa yang dikerjakannya dengan ilmu itu?
Itulah sabda Nabi n:
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلاَهُ
“Tidak akan bergeser telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat, hingga dia ditanya tentang: Umurnya (waktu), dalam urusan apa dia gunakan. Tentang ilmu, bagaimana dia mengamalkannya? Tentang hartanya, dari mana dia memperolehnya dan ke mana dia belanjakan? Juga tentang jasmani (kekuatan)nya dalam urusan apa dia habiskan?”3
Ingatlah, kita semua pasti akan dihadapkan kepada Allah l dan ditanya tentang semua aktivitas kita selama hidup di alam dunia. Mungkin kita membayangkan bisa berdusta di dalam ‘persidangan’ itu. Bahkan, setiap kita berusaha membela diri dengan menyebut kebaikan-kebaikannya atau mengelakkan tuduhan yang ditujukan kepadanya.
Tetapi, jelas sekali, semua itu tidak berguna. Karena Allah l berfirman:
Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan, dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka, “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab, “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (Fushshilat: 20-21)
Maka, ingatlah. Itulah kekuasaan Allah. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Kekuasaan-Nya membuat bicara segala sesuatu, tidak hanya di akhirat nanti….
Sang bayi yang baru saja lahir, Allah l takdirkan mampu berbicara.
Dengan jelas didengar oleh semua yang hadir dalam ‘persidangan’ itu, bayi itu menjawab pertanyaan Juraij tadi, “Bapakku adalah si penggembala.”
Kalimat ini meruntuhkan kemarahan yang bercokol di hati warga saat itu. Jelas sudah, ternyata Juraij tak bersalah. Dia betul-betul suci dari berbuat keji seperti yang mereka tuduhkan.
Dengan penuh rasa sesal, sambil menciumi Juraij, warga meminta maaf kepada Juraij dan menawarkan, “Bagaimana kalau kami bangun kembali tempat ibadahmu dari emas atau perak?”
Dengan halus Juraij menolak dan berkata, “Tidak perlu, cukup seperti sebelumnya, dari tanah.”
Keadaan menjadi tenang, warga pun pulang ke tempat masing-masing.
Keikhlasan, kesungguhan, dan kejujuran dalam pengabdian, di samping rahmat serta kasih sayang Allah l tentunya, itulah yang menyelamatkan Juraij.
Demikianlah Allah l berbuat terhadap hamba-hamba yang dicintai-Nya. Rasulullah n bersabda:
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا، وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَفَّى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Apabila Allah menghendaki kebaikan pada salah seorang hamba-Nya, niscaya Dia segerakan hukuman untuknya di dunia. Jika Allah menghendaki keburukan atas hamba-Nya, tentu Dia tahan darinya (hukuman itu) dengan dosanya, sampai Dia sempurnakan (balasan) dosa itu pada hari kiamat.”4
Apa yang dialami Juraij, adalah sebuah teguran halus dari Allah l…..
(Insya Allah bersambung)

1 Al-Bukhari (no. 3253) dan Muslim (no. 2500) dari Abu Hurairah z.
2 HR. At-Tirmidzi (no. 2320), kata beliau, “Hadits ini hasan gharib dari jalan ini.”
3 Disahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani.
4 HR. At-Tirmidzi (no. 2396) dan kata Asy-Syaikh Al-Albani, “Hasan sahih.”
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)

Apakah basmalah termasuk ayat dari Al-Fatihah?

0 komentar

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, para ulama berselisih pandang dalam masalah ini. Kita akan melihat perselisihan mereka dari beberapa sisi.
Apakah Basmalah Termasuk Ayat Al-Qur’an?
Dalam hal ini ada tiga pendapat ulama.
1.     Basmalah bukan bagian dari Al-Qur’an kecuali ayat ke-30 pada surah An-Naml.
Ini pendapat Al-Imam Malik dan sekelompok ulama Hanafiyah. Juga dinukilkan oleh sebagian pengikut Al-Imam Ahmad dalam sebuah riwayat dari beliau bahwa ini mazhab beliau.
2.    Basmalah adalah ayat dari setiap surah atau sebagian surah.
Ini mazhab Al-Imam Syafi’i dan yang mengikuti beliau. Akan tetapi, dalam sebuah penukilan dari beliau disebutkan bahwa basmalah bukan ayat di permulaan setiap surah kecuali Al-Fatihah, sedangkan surah lain hanyalah dibuka dengan basmalah untuk tabarruk (mencari berkah).
3. Basmalah adalah bagian dari Al-Qur’an, namun dia bukan termasuk bagian surah, tetapi ayat yang berdiri sendiri dan dibaca di awal setiap surah Al-Qur’an kecuali surah At-Taubah, sebagaimana Nabi n membacanya ketika diturunkan kepada beliau surah Al-Kautsar seperti yang diriwayatkan Al-Imam Muslim t dalam Shahih-nya.
Ini merupakan pendapat Al-Imam Abdullah ibnul Mubarak, Al-Imam Ahmad, dan Abu Bakr ar-Razi—beliau menyebutkan bahwa inilah yang diinginkan oleh mazhab Abu Hanifah—. Ini pula pendapat para muhaqqiq (peneliti) dalam masalah ini.
Kami lebih condong kepada pendapat yang terakhir ini.
Apakah Basmalah Itu Ayat Pertama Al-Fatihah?
Ada dua pendapat ulama tentang hal ini.
1.    Basmalah bagian dari surah Al-Fatihah, namun bukan bagian surah yang lain, sehingga wajib membacanya ketika membaca Al-Fatihah.
2.    Tidak dibedakan antara Al-Fatihah dan surah yang lainnya dalam Al-Qur’an, sehingga membaca basmalah di awal Al-Fatihah sama dengan membaca basmalah di awal surah lainnya (karena basmalah adalah ayat yang berdiri sendiri). Pendapat ini bersesuaian dengan hadits yang sahih, dan inilah pendapat yang rajih (kuat) menurut penulis.
Bacaan Basmalah dalam Shalat
Ada tiga pendapat ulama tentang hal ini.
1. Wajib seperti wajibnya membaca Al-Fatihah.
Ini merupakan pendapat Al-Imam Syafi’i, sebuah riwayat dari Al-Imam Ahmad dan sekelompok ahlul hadits. Pendapat ini dibangun berdasar anggapan bahwa basmalah itu bagian dari Al-Fatihah.
2.    Makruh (dibenci) baik secara sirr maupun jahr.
Pendapat ini masyhur dari mazhab Al-Imam Malik.
3.    Boleh, bahkan mustahabbah (disenangi).
Ini pendapat yang masyhur dari Al-Imam Ahmad, Abu Hanifah, dan kebanyakan ulama ahlul hadits. Ini pula pendapat yang kami pilih.
Pendapat ini juga dipegangi oleh orang yang berpendapat boleh membacanya ataupun tidak karena berkeyakinan bahwa kedua hal tersebut adalah qira’ah/bacaan Al-Qur’an yang diperkenankan.
Apakah Basmalah Dibaca Jahr atau Sirr?
Dalam hal ini juga ada perbedaan pendapat.
1. Disunnahkan membacanya secara jahr.
Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan ulama lain.
2. Disunnahkan membacanya secara sirr.
Ini merupakan pendapat jumhur ulama ahlul hadits dan ahli ra’yu, serta pendapat mayoritas fuqaha di dunia.
3. Seseorang bisa memilih, secara jahr atau sirr.
Pendapat ini diriwayatkan dari Al-Imam Ishaq bin Rahawaih. Ini juga pendapat Al-Imam Ibnu Hazm dan lainnya. (Majmu’ Fatawa, 22/435—437)

HARAMNYA MUSIK & LAGU

0 komentar


Kontroversi tentang musik seakan tak pernah berakhir. Baik yang pro maupun kontra masing-masing menggunakan dalil. Namun bagaimana para sahabat, tabi’in, dan ulama salaf memandang serta mendudukkan perkara ini? Sudah saatnya kita mengakhiri kontroversi ini dengan merujuk kepada mereka.
Musik dan nyanyian, merupakan suatu media yang dijadikan sebagai alat penghibur oleh hampir setiap kalangan di zaman kita sekarang ini. Hampir tidak kita dapati satu ruang pun yang kosong dari musik dan nyanyian. Baik di rumah, di kantor, di warung dan toko-toko, di bus, angkutan kota ataupun mobil pribadi, di tempat-tempat umum, serta rumah sakit. Bahkan di sebagian tempat yang dikenal sebagai sebaik-baik tempat di muka bumi, yaitu masjid, juga tak luput dari pengaruh musik.
Merebaknya musik dan lagu ini disebabkan banyak dari kaum muslimin tidak mengerti dan tidak mengetahui hukumnya dalam pandangan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang mubah, halal, bahkan menjadi konsumsi setiap kali mereka membutuhkannya. Jika ada yang menasihati mereka dan mengatakan bahwa musik itu hukumnya haram, serta merta diapun dituduh dengan berbagai macam tuduhan: sesat, agama baru, ekstrem, dan segudang tuduhan lainnya.
Namun bukan berarti, tatkala seseorang mendapat kecaman dari berbagai pihak karena menyuarakan kebenaran, lantas menjadikan dia bungkam. Kebenaran harus disuarakan, kebatilan harus ditampakkan.
Rasulullah n bersabda:
لاَ يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُولَ في حَقٍّ إِذَا رَآهُ أَوْ شَهِدَهُ أَوْ سَمِعَهُ
“Janganlah rasa segan salah seorang kalian kepada manusia, menghalanginya untuk mengucapkan kebenaran jika melihatnya, menyaksikannya, atau mendengarnya.” (HR. Ahmad, 3/50, At-Tirmidzi, no. 2191, Ibnu Majah no. 4007. Dishahihkan oleh Al-Albani t dalam Silsilah Ash-Shahihah, 1/322)
Terlebih lagi, jika permasalahan yang sebenarnya dalam timbangan Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah perkara yang telah jelas. Hanya saja semakin terkaburkan karena ada orang yang dianggap sebagai tokoh Islam berpendapat bahwa hal itu boleh-boleh saja, serta menganggapnya halal untuk dikonsumsi kaum muslimin. Di antara mereka, adalah Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya Al-Halal wal Haram, Muhammad Abu Zahrah, Muhammad Al-Ghazali Al-Mishri, dan yang lainnya dari kalangan rasionalis. Mereka menjadikan kesalahan Ibnu Hazm rahimahulloh sebagai tameng untuk membenarkan penyimpangan tersebut.
Oleh karenanya, berikut ini kami akan menjelaskan tentang hukum musik, lagu dan nasyid, berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah n, serta perkataan para ulama salaf.
Definisi Musik
Musik dalam bahasa Arab disebut ma’azif, yang berasal dari kata ‘azafa yang berarti berpaling. Kalau dikatakan: Si fulan berazaf dari sesuatu, maknanya adalah berpaling dari sesuatu. Jika dikatakan laki-laki yang ‘azuf dari yang melalaikan, artinya yang berpaling darinya. Bila dikatakan laki-laki yang ‘azuf dari para wanita artinya adalah yang tidak senang kepada mereka.
Ma’azif adalah jamak dari mi’zaf (مِعْزَفٌ ), dan disebut juga ‘azfun (عَزْفٌ ). Mi’zaf adalah sejenis alat musik yang dipakai oleh penduduk Yaman dan selainnya, terbuat dari kayu dan dijadikan sebagai alat musik.

Al-‘Azif adalah orang yang bermain dengannya.
Al-Laits radiallohu anhu, berkata: Al-ma’azif adalah alat-alat musik yang dipukul.” Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahulloh berkata: “Al-ma’azif adalah alat-alat musik.” Al-Qurthubi rahimahulloh, meriwayatkan dari Al-Jauhari bahwa al-ma’azif adalah nyanyian. Yang terdapat dalam Shihah-nya bahwa yang dimaksud adalah alat-alat musik. Ada pula yang mengatakan maknanya adalah  suara-suara yang melalaikan. Ad-Dimyathi berkata: “Al-ma’azif adalah genderang dan yang lainnya berupa sesuatu yang dipukul.” (lihat Tahdzib Al-Lughah, 2/86, Mukhtarush Shihah, hal. 181, Fathul Bari, 10/57)
Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahulloh, berkata: “Al-ma’azif adalah nama bagi setiap alat musik yang dimainkan, seperti seruling, gitar, dan klarinet (sejenis seruling), serta simba.” (Siyar A’lam An-Nubala`, 21/158)
Ibnul Qayyim rahimahulloh berkata bahwa al-ma’azif adalah seluruh jenis alat musik, dan tidak ada perselisihan ahli bahasa dalam hal ini. (Ighatsatul Lahafan, 1/260-261)

Mengenal Macam-Macam Alat Musik
Alat-alat musik banyak macamnya. Namun dapat kita klasifikasi alat-alat tersebut ke dalam empat kelompok:
Pertama: Alat-alat musik yang diketuk atau dipukul (perkusi).
Yaitu jenis alat musik yang mengeluarkan suara saat digoncangkan, atau dipukul dengan alat tabuh tertentu, (misal: semacam palu pada gamelan, ed.), tongkat (stik), tangan kosong, atau dengan menggesekkan sebagiannya kepada sebagian lainnya, serta yang lainnya. Alat musik jenis ini memiliki beragam bentuk, di antaranya seperti: gendang, kubah (gendang yang mirip seperti jam pasir), drum, mariba, dan yang lainnya.
Kedua: Alat musik yang ditiup.
Yaitu alat yang dapat mengeluarkan suara dengan cara ditiup padanya atau pada sebagiannya, baik peniupan tersebut pada lubang, selembar bulu, atau yang lainnya. Termasuk jenis ini adalah alat yang mengeluarkan bunyi yang berirama dengan memainkan jari-jemari pada bagian lubangnya. Jenis ini juga beraneka ragam, di antaranya seperti qanun dan qitsar (sejenis seruling).
Ketiga: Alat musik yang dipetik.
Yaitu alat musik yang menimbulkan suara dengan adanya gerakan berulang atau bergetar (resonansi), atau yang semisalnya. Lalu mengeluarkan bunyi saat dawai/senar dipetik dengan kekuatan tertentu menggunakan jari-jemari. Terjadi juga perbedaan irama yang muncul tergantung kerasnya petikan, dan cepat atau lambatnya gerakan/getaran yang terjadi. Di antaranya seperti gitar, kecapi, dan yang lainnya.
Keempat: Alat musik otomatis.
Yaitu alat musik yang mengeluarkan bunyi musik dan irama dari jenis alat elektronik tertentu, baik dengan cara langsung mengeluarkan irama, atau dengan cara merekam dan menyimpannya dalam program yang telah tersedia, dalam bentuk kaset, CD, atau yang semisalnya. (Lihat risalah Hukmu ‘Azfil Musiqa wa Sama’iha, oleh Dr. Sa’d bin Mathar Al-‘Utaibi)
Dalil-Dalil tentang Haramnya Musik dan Lagu

Dalil dari Al-Qur`an Al-Karim
1. Firman Allah Subhaanahu wata’aala, :
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Luqman: 6)
Ayat Allah Subhaanahu wata’aala, ini telah ditafsirkan oleh para ulama salaf bahwa yang dimaksud adalah nyanyian dan yang semisalnya. Di antara yang menafsirkan ayat dengan tafsir ini adalah:
Abdullah bin ‘Abbas radiallohu anhu, beliau mengatakan tentang ayat ini: “Ayat ini turun berkenaan tentang nyanyian dan yang semisalnya.” (Diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (no. 1265), Ibnu Abi Syaibah (6/310), Ibnu Jarir dalam tafsirnya (21/40), Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi, Al-Baihaqi (10/221, 223), dan dishahihkan Al-Albani dalam kitabnya Tahrim Alat Ath-Tharb (hal. 142-143)).
Abdullah bin Mas’ud radiallohu anhu, tatkala beliau ditanya tentang ayat ini, beliau menjawab: “Itu adalah nyanyian, demi Allah yang tiada Ilah yang haq disembah kecuali Dia.” Beliau mengulangi ucapannya tiga kali. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, Ibnu Abi Syaibah, Al-Hakim (2/411), dan yang lainnya. Al-Hakim mengatakan: “Sanadnya shahih,” dan disetujui Adz-Dzahabi. Juga dishahihkan oleh Al-Albani, lihat kitab Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 143)
‘Ikrimah radiallohu anhu,. Syu’aib bin Yasar berkata: “Aku bertanya kepada ‘Ikrimah tentang makna (lahwul hadits) dalam ayat tersebut. Maka beliau menjawab: ‘Nyanyian’.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Tarikh-nya (2/2/217), Ibnu Jarir dalam tafsirnya, dan yang lainnya. Dihasankan Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 143).
Mujahid bin Jabr radiallohu anhu,. Beliau mengucapkan seperti apa yang dikatakan oleh ‘Ikrimah. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 1167, 1179, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abid Dunya dari beberapa jalan yang sebagiannya shahih).
Dan dalam riwayat Ibnu Jarir yang lain, dari jalan Ibnu Juraij, dari Mujahid, tatkala beliau menjelaskan makna al-lahwu dalam ayat tersebut, beliau berkata: “Genderang.” (Al-Albani berkata: Perawi-perawinya tepercaya, maka riwayat ini shahih jika Ibnu Juraij mendengarnya dari Mujahid. Lihat At-Tahrim hal. 144)
Al-Hasan Al-Bashri rahimahulloh, beliau mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan tentang nyanyian dan seruling.”
As-Suyuthi rahimahulloh menyebutkan atsar ini dalam Ad-Durrul Mantsur (5/159) dan menyandarkannya kepada riwayat Ibnu Abi Hatim. Al-Albani berkata: “Aku belum menemukan sanadnya sehingga aku bisa melihatnya.” (At-Tahrim hal. 144)
Oleh karena itu, berkata Al-Wahidi dalam tafsirnya Al-Wasith (3/441): “Kebanyakan ahli tafsir menyebutkan bahwa makna lahwul hadits adalah nyanyian. Ahli ma’ani berkata: ‘Termasuk dalam hal ini adalah semua orang yang memilih hal yang melalaikan, nyanyian, seruling, musik, dan mendahulukannya daripada Al-Qur`an.”
2. Firman Allah Subhaanahu wata’aala,:
“Maka apakah kalian merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kalian menertawakan dan tidak menangis? Sedangkan kalian ber-sumud?” (An-Najm: 59-61)
Para ulama menafsirkan “kalian bersumud” maknanya adalah bernyanyi. Termasuk yang menyebutkan tafsir ini adalah:
Ibnu Abbas radiallohu anhu,. Beliau berkata: “Maknanya adalah nyanyian. Dahulu jika mereka mendengar Al-Qur`an, maka mereka bernyanyi dan bermain-main. Dan ini adalah bahasa penduduk Yaman (dalam riwayat lain: bahasa penduduk Himyar).”  (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya (27/82), Al-Baihaqi (10/223). Al-Haitsami berkata: “Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan sanadnya shahih.” (Majma’ Az-Zawa`id, 7/116)
‘Ikrimah radiallohu anhu. Beliau juga berkata: “Yang dimaksud adalah nyanyian, menurut bahasa Himyar.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Syaibah, 6/121)
Ada pula yang menafsirkan ayat ini dengan makna berpaling, lalai, dan yang semisalnya. Ibnul Qayyim t berkata: “Ini tidaklah bertentangan dengan makna ayat sebagaimana telah disebutkan, bahwa yang dimaksud sumud adalah lalai dan lupa dari sesuatu. Al-Mubarrid mengatakan: ‘Yaitu tersibukkan dari sesuatu bersama mereka.’ Ibnul ‘Anbar mengatakan: ‘As-Samid artinya orang yang lalai, orang yang lupa, orang yang sombong, dan orang yang berdiri.’ Ibnu ‘Abbas radiallohu anhu, berkata tentang ayat ini: ‘Yaitu kalian menyombongkan diri.’ Adh-Dhahhak berkata: ‘Sombong dan congkak.’ Mujahid berkata: ‘Marah dan berpaling.’ Yang lainnya berkata: ‘Lalai, luput, dan berpaling.’ Maka, nyanyian telah mengumpulkan semua itu dan mengantarkan kepadanya.” (Ighatsatul Lahafan, 1/258)
3. Firman Allah lkepada Iblis:
“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (Al-Isra`: 64)
Telah diriwayatkan dari sebagian ahli tafsir bahwa yang dimaksud “menghasung siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu” adalah melalaikan mereka dengan nyanyian. Di antara yang menyebutkan hal tersebut adalah:
Mujahid rahimahulloh, Beliau berkata tentang makna “dengan suaramu”: “Yaitu melalaikannya dengan nyanyian.” (Tafsir Ath-Thabari)
Sebagian ahli tafsir ada yang menafsirkannya dengan makna ajakan untuk bermaksiat kepada Allah Subhaanahu wata’aala,. Ibnu Jarir berkata: “Pendapat yang paling benar dalam hal ini adalah bahwa Allah Subhaanahu wata’aala, telah mengatakan kepada Iblis: ‘Dan hasunglah dari keturunan Adam siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu,’ dan Dia tidak mengkhususkan dengan suara tertentu. Sehingga setiap suara yang dapat menjadi pendorong kepadanya, kepada amalannya dan taat kepadanya, serta menyelisihi ajakan kepada ketaatan kepada Allah Subhaanahu wata’aala,, maka termasuk dalam makna suara yang Allah Subhaanahu wata’aala, maksudkan dalam firman-Nya.” (Tafsir Ath-Thabari)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh berkata tatkala menjelaskan ayat ini: “Sekelompok ulama salaf telah menafsirkannya dengan makna ‘suara nyanyian’. Hal itu mencakup suara nyanyian tersebut dan berbagai jenis suara lainnya yang menghalangi pelakunya untuk menjauh dari jalan Allah k.” (Majmu’ Fatawa, 11/641-642)
Ibnul Qayyim rahimahulloh berkata: “Satu hal yang telah dimaklumi bahwa nyanyian merupakan pendorong terbesar untuk melakukan kemaksiatan.” (Ighatsatul Lahafan, 1/255)

Dalil-dalil dari As-Sunnah
1. Hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari z bahwa Rasulullah n bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيهِمْ يَعْنِي الْفَقِيرَ لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا؛ فَيُبَيِّتُهُمْ اللهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Akan muncul di kalangan umatku, kaum-kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik. Dan akan ada kaum yang menuju puncak gunung kembali bersama ternak mereka, lalu ada orang miskin yang datang kepada mereka meminta satu kebutuhan, lalu mereka mengatakan: ‘Kembalilah kepada kami besok.’ Lalu Allah Subhaanahu wata’aala, membinasakan mereka di malam hari dan menghancurkan bukit tersebut. Dan Allah mengubah yang lainnya menjadi kera-kera dan babi-babi, hingga hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari, 10/5590)
Hadits ini adalah hadits yang shahih. Apa yang Al-Bukhari sebutkan dalam sanad hadits tersebut: “Hisyam bin Ammar berkata...”1 tidaklah memudaratkan kesahihan hadits tersebut. Sebab Al-Imam Al-Bukhari rahimahulloh, tidak dikenal sebagai seorang mudallis (yang menggelapkan hadits), sehingga hadits ini dihukumi bersambung sanadnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh berkata: “(Tentang) alat-alat (musik) yang melalaikan, telah shahih apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari rahimahulloh dalam Shahih-nya secara ta’liq dengan bentuk pasti (jazm), yang masuk dalam syaratnya.” (Al-Istiqamah, 1/294, Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 39. Lihat pula pembahasan lengkap tentang sanad hadits ini dalam Silsilah Ash-Shahihah, Al-Albani, 1/91)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahulloh berkata setelah menyebutkan panjang lebar tentang keshahihan hadits ini dan membantah pendapat yang berusaha melemahkannya: “Maka barangsiapa –setelah penjelasan ini– melemahkan hadits ini, maka dia adalah orang yang sombong dan penentang. Dia termasuk dalam sabda Nabi n:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak masuk ke dalam surga, orang yang dalam hatinya ada kesombongan walaupun seberat semut.” (HR. Muslim) [At-Tahrim, hal. 39]
Makna hadits ini adalah akan muncul dari kalangan umat ini yang menganggap halal hal-hal tersebut, padahal itu adalah perkara yang haram. Al-‘Allamah ‘Ali Al-Qari berkata: “Maknanya adalah mereka menganggap perkara-perkara ini sebagai sesuatu yang halal dengan mendatangkan berbagai syubhat dan dalil-dalil yang lemah.” (Mirqatul Mafatih, 5/106)
2. Hadits Anas bin Malik radiallohu anhu, bahwa Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda:
صَوْتَانِ مَلْعُونَانِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ: مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ، وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيبَةٍ
“Dua suara yang terlaknat di dunia dan akhirat: seruling ketika mendapat nikmat, dan suara (jeritan) ketika musibah.” (HR. Al-Bazzar dalam Musnad-nya, 1/377/755, Adh-Dhiya` Al-Maqdisi dalam Al-Mukhtarah, 6/188/2200, dan dishahihkan oleh Al-Albani berdasarkan penguat-penguat yang ada. Lihat Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 52)
Juga dikuatkan dengan riwayat Jabir bin Abdullah radiallohu anhu, dari Abdurrahman bin ‘Auf radiallohu anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallohu ‘alahi wasallam bersabda:
إِنَّمَا نُهِيْتُ عَنِ النَّوْحِ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ: صَوْتٍ عِنْدَ نَغْمَةِ لَهْوٍ وَلَعِبٍ وَمَزَامِيرِ شَيْطَانٍ، وَصَوْتٍ عِنْدَ مُصِيبَةٍ خَمْشِ وُجُوهٍ وَشَقِّ جُيُوبٍ وَرَنَّةِ شَيْطَانٍ
“Aku hanya dilarang dari meratap, dari dua suara yang bodoh dan fajir: Suara ketika dendangan yang melalaikan dan permainan, seruling-seruling setan, dan suara ketika musibah, mencakar wajah, merobek baju dan suara setan.” (HR. Al-Hakim, 4/40, Al-Baihaqi, 4/69, dan yang lainnya. Juga diriwayatkan At-Tirmidzi secara ringkas, no. 1005)
An-Nawawi rahimahulloh berkata tentang makna ‘suara setan’: “Yang dimaksud adalah nyanyian dan seruling.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4/75)
3. Hadits Abdullah bin ‘Abbas radiallohu anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, telah bersabda:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيَّ -أَوْ حُرِّمَ الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْكُوبَةُ. قَالَ: وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Sesungguhnya Allah k telah mengharamkan atasku –atau– diharamkan khamr, judi, dan al-kubah. Dan setiap yang memabukkan itu haram.” (HR. Abu Dawud no. 3696, Ahmad, 1/274, Al-Baihaqi, 10/221, Abu Ya’la dalam Musnad-nya no. 2729, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan Al-Albani, lihat At-Tahrim hal. 56).
Kata al-kubah telah ditafsirkan oleh perawi hadits ini yang bernama ‘Ali bin Badzimah, bahwa yang dimaksud adalah gendang. (lihat riwayat Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, no. 12598)
4. Hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radiallohu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Sesungguhnya Allah Subhaanahu wata’aala, mengharamkan khamr, judi, al-kubah (gendang), dan al-ghubaira` (khamr yang terbuat dari bahan jagung), dan setiap yang memabukkan itu haram.” (HR. Abu Dawud no. 3685, Ahmad, 2/158, Al-Baihaqi, 10/221-222, dan yang lainnya. Hadits ini dihasankan Al-Albani dalam Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 58)

Atsar dari Ulama Salaf
1. Abdullah bin Mas’ud radiallohu anhu berkata:
الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ
“Nyanyian itu menimbulkan kemunafikan dalam hati.” (Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi, 4/2, Al-Baihaqi dari jalannya, 10/223, dan Syu’abul Iman, 4/5098-5099. Dishahihkan Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 10. Diriwayatkan juga secara marfu’, namun sanadnya lemah)
2. Ishaq bin Thabba` rahimahulloh berkata: Aku bertanya kepada Malik bin Anas rahimahulloh tentang sebagian penduduk Madinah yang membolehkan nyanyian. Maka beliau mejawab: “Sesungguhnya menurut kami, orang-orang yang melakukannya adalah orang yang fasiq.” (Diriwayatkan Abu Bakr Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf: 32, dan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 244, dengan sanad yang shahih)
Beliau juga ditanya: “Orang yang memukul genderang dan berseruling, lalu dia mendengarnya dan merasakan kenikmatan, baik di jalan atau di majelis?”
Beliau menjawab: “Hendaklah dia berdiri (meninggalkan majelis) jika ia merasa enak dengannya, kecuali jika ia duduk karena ada satu kebutuhan, atau dia tidak bisa berdiri. Adapun kalau di jalan, maka hendaklah dia mundur atau maju (hingga tidak mendengarnya).” (Al-Jami’, Al-Qairawani, 262)
3. Al-Imam Al-Auza’i rahimahulloh berkata: ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahulloh menulis sebuah surat kepada ‘Umar bin Walid yang isinya: “... Dan engkau yang menyebarkan alat musik dan seruling, (itu) adalah perbuatan bid’ah dalam Islam.” (Diriwayatkan An-Nasa`i, 2/178, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 5/270. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 120)
4. ‘Amr bin Syarahil Asy-Sya’bi rahimahulloh berkata: “Sesungguhnya nyanyian itu menimbulkan kemunafikan dalam hati, seperti air yang menumbuhkan tanaman. Dan sesungguhnya berdzikir menumbuhkan iman seperti air yang menumbuhkan tanaman.” (Diriwayatkan Ibnu Nashr dalam Ta’zhim Qadr Ash-Shalah, 2/636. Dihasankan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim, hal. 148)
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abid Dunya (45), dari Al-Qasim bin Salman, dari Asy-Sya’bi, dia berkata: “Semoga Allah k melaknat biduan dan biduanita.” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 13)
5. Ibrahim bin Al-Mundzir rahimahulloh –seorang tsiqah (tepercaya) yang berasal dari Madinah, salah seorang guru Al-Imam Al-Bukhari rahimahulloh – ditanya: “Apakah engkau membolehkan nyanyian?” Beliau menjawab: “Aku berlindung kepada Allah Subhaanahu wata’aala, . Tidak ada yang melakukannya menurut kami kecuali orang-orang fasiq.” (Diriwayatkan Al-Khallal dengan sanad yang shahih, lihat At-Tahrim hal. 100)
6. Ibnul Jauzi rahimahulloh berkata: “Para tokoh dari murid-murid Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahulloh mengingkari nyanyian. Para pendahulu mereka, tidak diketahui ada perselisihan di antara mereka. Sementara para pembesar orang-orang belakangan, juga mengingkari hal tersebut. Di antara mereka adalah Abuth Thayyib Ath-Thabari, yang memiliki kitab yang dikarang khusus tentang tercela dan terlarangnya nyanyian.
Lalu beliau berkata: “Ini adalah ucapan para ulama Syafi’iyyah dan orang yang taat di antara mereka. Sesungguhnya yang memberi keringanan dalam hal tersebut dari mereka adalah orang-orang yang sedikit ilmunya serta didominasi oleh hawa nafsunya. Para fuqaha dari sahabat kami (para pengikut mazhab Hambali) menyatakan: ‘Tidak diterima persaksian seorang biduan dan para penari.’ Wallahul muwaffiq.” (Talbis Iblis, hal. 283-284)
7. Ibnu Abdil Barr rahimahulloh berkata: “Termasuk hasil usaha yang disepakati keharamannya adalah riba, upah para pelacur, sogokan (suap), mengambil upah atas meratapi (mayit), nyanyian, perdukunan, mengaku mengetahui perkara gaib dan berita langit, hasil seruling dan segala permainan batil.” (Al-Kafi hal. 191)
8. Ath-Thabari rahimahulloh berkata: “Telah sepakat para ulama di berbagai negeri tentang dibenci dan terlarangnya nyanyian.” (Tafsir Al-Qurthubi, 14/56)
9. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh, berkata: “Mazhab empat imam menyatakan bahwa alat-alat musik semuanya haram.” Lalu beliau menyebutkan hadits riwayat Al-Bukhari rahimahulloh di atas. (Majmu’ Fatawa, 11/576)
Masih banyak lagi pernyataan para ulama yang menjelaskan tentang haramnya musik beserta nyanyian. Semoga apa yang kami sebutkan ini sudah cukup menjelaskan perkara ini.
Wallahu a’lam.

 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id