Hukum Amalan yang Diniatkan Untuk Allah dan Selain Allah
Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata:
Sebagian ulama menyatakan: Jenis amalan seperti ini ada tiga bentuk:
Pertama: Niat pertamanya dalam beramal adalah ikhlas, kemudian di tengah perjalanan ibadah dimasuki oleh riya` dan keinginan kepada selain Allah. Maka yang menjadi patokan di sini adalah niatnya yang pertama selama niatnya itu tidak dibatalkan dengan niat yang tegas untuk selain Allah. Jika dia membatalkannya maka hukumnya sama seperti memutuskan dan membatalkan niat di pertengahan ibadah.
Sebagian ulama menyatakan: Jenis amalan seperti ini ada tiga bentuk:
Pertama: Niat pertamanya dalam beramal adalah ikhlas, kemudian di tengah perjalanan ibadah dimasuki oleh riya` dan keinginan kepada selain Allah. Maka yang menjadi patokan di sini adalah niatnya yang pertama selama niatnya itu tidak dibatalkan dengan niat yang tegas untuk selain Allah. Jika dia membatalkannya maka hukumnya sama seperti memutuskan dan membatalkan niat di pertengahan ibadah.
Kedua: Sebaliknya, yaitu niat awalnya
adalah untuk selain Allah, kemudian di tengah ibadahnya dia merubah
niatnya untuk Allah. Maka yang seperti ini, amalannya yang sebelumnya
tidak mendapat pahala dan yang mendapat pahala hanyalah amalan sejak dia
merubah niatnya. Kemudian:
Jika ibadah yang dia sedang kerjakan tergolong jenis ibadah yang akhirnya tidak syah kecuali jika awalnya juga syah, seperti shalat, maka dia wajib mengulangi ibadahnya.
Tapi jika tidak maka dia tidak wajib mengulang ibadahnya. Seperti orang yang melakukan ihram haji dengan niat untuk selain Allah, kemudian ketika wuquf dan thawaf, dia merubah niatnya untuk Allah.
Jika ibadah yang dia sedang kerjakan tergolong jenis ibadah yang akhirnya tidak syah kecuali jika awalnya juga syah, seperti shalat, maka dia wajib mengulangi ibadahnya.
Tapi jika tidak maka dia tidak wajib mengulang ibadahnya. Seperti orang yang melakukan ihram haji dengan niat untuk selain Allah, kemudian ketika wuquf dan thawaf, dia merubah niatnya untuk Allah.
Ketiga: Dia memulai ibadahnya dengan
meniatkan untuk Allah dan untuk manusia secara bersamaan. Maka dia
mengerjakan ibadah itu untuk menunaikan kewajibannya sekaligus untuk
mendapatkan balasan dan apresiasi dari manusia. Seperti orang yang
shalat karena diberikan upah, dan seandainya pun dia tidak mengambil
upah tersebut maka dia tetap shalat. Sehingga dia shalat untuk Allah dan
juga untuk mendapatkan upah. Demikian halnya orang yang menunaikan haji
dengan niat untuk menggugurkan kewajibannya, sekaligus agar orang-orang
mengatakan: Si fulan telah haji. Demikian halnya ketika dia membayar
zakat. Maka yang seperti ini, amalannya tidak diterima. Dan jika niat
pada amalan tersebut merupakan syarat dari gugurnya kewajiban maka dia
wajib mengulangi ibadahnya. Dikarena hakikat dari keikhlasan yang
menjadi syarat syahnya amalan dan syarat adanya pahala, tidak ditemukan
dalam ibadahnya. Sementara suatu hukum bergantung dengan syaratnya,
dimana hukum itu tidak ada ketika syaratnya tidak ada. Hal itu karena
keikhlasan adalah memurnikan niat dalam menaati Sembahan, dan ibadah
tidaklah diperintahkan kecuali dengannya. Maka jika ini yang
diperintahkan (beribadah dengan ikhlas, pent.) lantas dia tidak
mengerjakannya maka beban ibadah itu tetap berada pada pundaknya.
Sunnah secara tegas telah menunjukkan hal ini, sebagaimana pada sabda beliau shallallahu alaihi wasallam:
يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيامَةِ: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ فَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ غَيْرِي فَهُوَ كُلُّهُ لِلَّذِي أَشْرَكَ بِهِ
“Allah Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat, “Saya adalah Zat yang paling tidak butuh pada sekutu. Karenanya siapa saja yang berbuat suatu amalan dimana dia menyekutukan Saya dengan selain Saya di dalamnya, maka amalannya semuanya untuk sekutu tersebut.” (HR. Muslim no. 2985)
Dan inilah makna firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
[Source: Jami' Al-Fiqhi li Ibni Al-Qayyim: 1/54-55, karya Yusri As-Sayyid Muhammad]يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيامَةِ: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ فَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ غَيْرِي فَهُوَ كُلُّهُ لِلَّذِي أَشْرَكَ بِهِ
“Allah Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat, “Saya adalah Zat yang paling tidak butuh pada sekutu. Karenanya siapa saja yang berbuat suatu amalan dimana dia menyekutukan Saya dengan selain Saya di dalamnya, maka amalannya semuanya untuk sekutu tersebut.” (HR. Muslim no. 2985)
Dan inilah makna firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
di kutip dari :al-atsariyyah
0 komentar:
Posting Komentar