Oleh: Abu Hisyam Sufyan
Telah menjadi ketentuan Allah bahwa Ia akan menguji setiap hamba-Nya. Tidak ada yang dapat menghalangi Allah untuk melakukannya. Dengan ujian ini, diketahui lah orang-orang yang benar dalam keimanannya dan orang-orang yang dusta dalam keimanannya. Allah berfirman di dalam surat Al Ankabut: 2-3, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?*, dan sungguh telah Kami uji orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta (di dalam keimanannya)”.Di antara bentuk ujian yang Allah persiapkan untuk hamba-Nya adalah adanya berbagai macam musibah. Allah berfirman, “Dan sungguh akan Kami uji kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.” [Al Baqarah: 155]
Sabar sebagai solusi
Pembaca yang budiman, adanya musibah yang bertubi-tubi mengguyur negeri yang kita cintai ini menuntut adanya solusi dan jalan keluar, sehingga kita tidak terlampau berduka cita karenanya. Dengan rahmat-Nya, Allah telah memberitahukan kepada kita sebuah solusi dan jalan keluar ketika musibah menghampiri kita. Kesabaran merupakan sikap seorang muslim ketika tertimpa musibah.
Di dalam Al Qur`an, Allah banyak bertutur mengenai sifat sabar. Ia memerintahkan para hamba-Nya untuk bersabar, menerangkan keutamaan sifat sabar, menyebutkan ganjaran bagi para penyabar dan lain-lainnya. Di antaranya Allah berfirman (artinya), ”Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (dalam kesabaran) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung”. [Ali ‘Imran: 120].
Bahkan, pada ayat yang lain Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk bersabar. Allah berfirman (artinya), “Bersabarlah (wahai Nabi) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah….” [An Nahl: 127].
Dan sebagai bentuk keutamaan sifat sabar ini, “Allah telah menyebutkan sifat sabar di 90 tempat di dalam kitab-Nya” kata Imam Ahmad. Hal ini tentunya menunjukan pentingnya sifat sabar dan keutamaannya.
Rasulullah juga bersabda:
“Sungguh menakjubkan perkara seorang muslim, apabila ia mendapatkan kenikmatan maka ia bersyukur dan hal itu merupakan kebaikan baginya. Dan apabila ia tertimpa suatu musibah ia pun bersabar dan itu pun merupakan suatu kebaikan baginya” [H.R. Muslim dari sahabat Shuhaib Ar-Rumy]. Beliau juga bersabda :
“Barang siapa yang berusaha untuk bersabar, maka Allah akan membuatnya bersabar. Tidaklah seseorang yang diberi dengan suatu pemberian yang lebih berharga dan lebih luas dari pada kesabaran” [H.R. Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudry]. Ayat dan hadits ini menunjukan bahwa sabar termasuk perangai seorang mukmin. Dengan kata lain, seorang mukmin harus memiliki sifat sabar. Oleh karena itulah, para ulama juga menegaskan bahwa sabar termasuk dari keimanan.
Lebih jauh, marilah kita simak ucapan para generasi terbaik umat ini mengenai sifat sabar ini. ‘Umar bin Al-Khatthab mengatakan, “Kami mendapati kehidupan terbaik kami dengan kesabaran”.
‘Ali bin Abi Thalib juga berkata, “Kedudukan sabar di dalam keimanan bagaikan kedudukan kepala bagi jasad.” Kemudian beliau mengangkat suaranya seraya mengatakan, “Ketahuilah!! Sesungguhnya tidak ada keimanan bagi siapa pun yang tidak memiliki kesabaran”.
Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, seorang ulama dan penguasa yang sholeh, berkata, “Barang siapa yang diberi oleh Allah suatu nikmat akan tetapi kemudian Allah cabut nikmat tersebut, namun Allah ganti dengan sifat sabar, melainkan apa yang Allah ganti tersebut lebih baik daripada apa yang Ia cabut (yakni kesabaran tersebut lebih baik daripada nikmat yang Allah ambil)”. Inilah beberapa untaian perkataan para ulama yang berkaitan dengan keutamaaan sifat sabar.
Hakekat sabar dan pengertiannya
Secara bahasa sabar bermakna menahan. Yakni, menahan jiwa kita dari terlampau bersedih atau bermuram durja, menahan lisan dari berkeluh kesah dan menahan anggota badan dari melakukan hal-hal yang Allah larang.
Memang, bersedih ketika tertimpa musibah merupakan suatu hal yang wajar. Akan tetapi, menjadi terlarang jika kemudian menyebabkannya melakukan apa-apa yang kita sebutkan tadi. Ia terlampau bersedih sehingga terus menerus dalam kesedihan atau bahkan menjadi sesorang yang putus asa dari rahmat-Nya, sehingga ia menjadi seperti yang sering digambarkan “mati segan hidup tak mau”.
Berkeluh kesah dalam artian ia terus mengucapkan hal-hal yang semestinya tidak boleh ia katakan. Seperti mencela diri sendiri dan terus menyalahkannya. Atau bahkan -na’udzubillah- ia mencela takdir dan tidak terima dengannya. Ia menganggap Allah telah berbuat tidak adil padanya. Menampar pipi, mengoyak pakaian, dan mengacak-acak rambut juga sebagian contoh hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Perbuatan-perbuatan ini teramat sering terjadi ketika seseorang meratapi mayit.
Perhatikanlah sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam (artinya), “Bukan termasuk dari golongan kami siapapun yang menampar-nampar pipi, merobek-robek baju dan menyeru dengan seruan jahiliyah” [H.R. Bukhari dan Muslim]
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Allah melaknat para wanita yang menampar-nampar pipi, merobek-robek pakaian dan berseru dengan seruan kecelakaan dan kebinasaan”. [H.R. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani].
Bahkan Rasulullah bersabda, “Apabila wanita yang meratapi mayit itu tidak bertaubat dari perbuatannya, maka ia akan dibangkitkan di hari kiamat dalam keadaan ia mengenakan pakaian dari tembaga yang meleleh dan gaun dari penyakit kudis.” [H.R. Muslim].
Macam-macam sabar
Para pembaca yang mulia, para ulama telah menerangkan bahwa sabar itu ada tiga macam:
- Sabar ketika tertimpa musibah -hal ini telah lalu penjelasannya-,
- Sabar ketika melakukan ketaatan, dan
- Sabar ketika menjauhi larangan.
Para rasul, sebagai manusia terbaik di dalam ketaqwaan dan ketaatan pun tak lepas dari gangguan-gangguannya. Dan kisah-kisah mereka telah kita ketahui. Cobaan dan rintangan tidak membuat mereka goyah untuk tetap melaksanakan beban yang telah dipikulkan untuk mereka. Begitu pula orang-orang yang berusaha meniti jalan para Rasul. Mereka pun tak lepas dari gangguan Iblis dan bala tentaranya. Semakin mereka berusaha meniti dan mengikuti jalan para Rasul, semakin besar pula ujian yang menantangnya. Jika begitu, kesabaran mutlak dibutuhkan di dalam setiap keadaan. Allah lah tempat meminta tolong.
Perhatikanlah sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam (artinya), “Manusia yang paling berat ujiannya adalah para Nabi, kemudian yang serupa dengan mereka, kemudian yang serupa dengan mereka. Setiap manusia akan diuji sesuai kadar keimanannya. Apabila ia memiliki keteguhan di dalam agamanya, maka ujiannya akan semakin berat. Begitu pula kalau ia memiliki kelembekan di dalam keimanannya,maka ia akan diuji sesuai dengan kadar keimanannya. Senantiasa ujian bertubi-tubi menimpa seorang hamba, sampai ujian meninggalkannya berjalan di muka bumi ini dan tidak ada sedikit pun dosa yang tersisa padanya” [H.R. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad-Darimi dan yang lainnya dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani].
Ganjaran bagi para penyabar
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa kesabaran merupakan sikap terpuji yang seharusnya dimiliki setiap muslim. Sabar juga membutuhkan usaha yang berat untuk merealisasikannya. Karena itulah, Allah telah menyediakan pahala yang besar bagi para penyabar. Allah berfirman,“Sesungguhnya hanya para penyabarlah yang pahala mereka akan diberikan tanpa batas.” [Q.S. Az-Zumar:10].
Di ayat yang lain Allah mengabarkan ganjaran bagi para penyabar, “Mereka itulah yang mendapat shalawat dan rahmat dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [Q.S. Al Baqarah: 157].
Inilah beberapa ganjaran dan pahala yang Allah persiapkan bagi hamba-Nya yang bersabar. Lantas, apakah kita sudah termasuk orang yang bersabar?
Sedikit renungan
Para pembaca yang mulia, ketika musibah menimpa kita, hendaknya kita benar-benar waspada jangan sampai kita berucap dengan perkataan yang membuat Allah murka kepada kita dan menghilangkan pahala yang Ia persiapkan. Allah Maha Adil dan Maha Bijaksana. Segala yang dilakukan oleh Allah pasti dilakukan di atas hikmah. Allah berhak untuk memberi dan mengambil kembali segala milik-Nya. Allah tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan-Nya akan tetapi para makhluk lah yang akan dimintai pertanggungjawaban.
Hendaknya orang yang tertimpa musibah menyadari bahwa kesedihannya tidak akan menyingkirkan atau merubah apa yang telah terjadi. Atau bahkan akan semakin bertambah musibahnya. Kesedihannya yang begitu mendalam telah membuat Allah murka, para syaithan bersorak-sorai, amalan-amalannya gugur, dan melemahkan diri sendiri. Semua ini juga musibah, justru ini merupakan musibah yang lebih besar. Kalau begitu, ini namanya membangun banyak musibah di atas satu musibah yang menimpanya. Hendaknya ia juga tahu bahwa meskipun kesedihannya telah mencapai puncak akhirnya ia harus bersabar pula. Hal ini tidak akan mengubah apapun kecuali menambah kemurkaan jika ditambah dengan melakukan apa yang Allah larang. Tentulah ini bukan perbuatan terpuji.
Rasulullah bersabda, “Kesabaran yang hakiki itu adalah yang berada ketika pertama terjadinya musibah” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim]. Datangnya musibah secara tiba-tiba, memang dapat menyebabkan kesedihan yang menggoncang. Apabila ia bersabar pada kali pertama terjadinya musibah, maka kedahsyatan dan kekuatan musibah itu akan hilang dan lebur sehingga ia akan mudah untuk bersabar pada hal-hal yang selanjutnya.
Dahulu para ulama mengatakan, “Kalau kamu bersabar, berarti engkau hanya tertimpa satu musibah. Kalau kamu tidak bersabar, berarti kamu tertimpa dua musibah”.
Seorang yang arif akan menjadikan musibah yang menimpanya sebagai ladang untuk menuai banyak pahala. Dengan musibah tersebut ia berkesempatan untuk bersabar, mengucapkan istirja’ (innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’un), dan ibadah lain yang terkadang tidak kita bayangkan. Yang mana ini tergantung pada tingkatan ilmu yang ia punyai. Maka, marilah kita jadikan musibah ini sebagai ladang pahala dan cambukan untuk memperbaiki diri-diri kita.
Walillahil hamdu ‘ala kulli hal wallohu a’lam bish showab.
sumber : http://tashfiyah.net/2010/11/ujian-sebuah-kemestian
0 komentar:
Posting Komentar